Kamis, 09 Mei 2013

Ahwal Sebagai Capaian-Capaian Kualitas Spiritual


AHWAL SEBAGAI CAPAIAN-CAPAIAN KUALITAS SPIRITUAL
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah AKHLAQ TASAWUF
Disusun oleh :
AINIL IZZAH (D32211039)


Dosen Pembimbing

Drs. H. AAN NADJIB, M. Ag.





JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji kami haturkan ke hadirat Allah swt., Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Sholawat serta salam salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita, Nabi Muhammad saw., yang telah menyampaikan pesan pencerahan Allah secara sempurna kepada umat semesta alam dan membina batin manusia dengan keteladanan yang tinggi sehingga tercipta umat manusia yang berpribadi mulia.
Selanjutnya, makalah yang ada dihadapan pembaca ini merupakan upaya kecil kami untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama islam, utamanya, yang berkenaan dengan kepribadian dan kerohanian islam.
Dengan izin Allah swt. Dan berkat kerjasama yang cantik dari semua pihak, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhirnya, kami harus menyadari bahwa ‘’ tiada gading yang tak retak’’. Artinya saya adalah manusia biasa, memiliki keterbatasan di sana-sini, sehingga harus saya kataka bahwa makalah ini hanyalah sebagai pemenuhan tugas dengan merujuk ke buku-buku refrensi yang, paling tidak, tertera dalam daftar makalah ini. Tentu saja, saran kritis-konstruksi dari berbagai pihak sangat saya harapkan demi lebih sempurnanya makalah ini

                                                                                                                 
Surabaya, 29 Maret 2012 


                                                                    Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PEMBAHASAN
A.    Pengertian ahwal            
B.     Macam-macam hal                    
BAB II PENUTUP
A.     Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA












BAB I
PEMBAHASAN
A.  Pengertian ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu ( keadaan rohani ). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghozali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telahbersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yangdatang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut badawih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugrah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen,sedangkan hal sifatnya temporer sesuai dengan tingkatan maqamnya. Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi.
B.  Macam-macam hal
1-        Al- muraqabah
Muraqabah adalah kesadaran  diri bahwa kita selalu  berhadapan dengan Allah dalam keadaan apa pun dan Dialah yang selalu mengawasi segala apapun yang kita lakukan. Muraqabah ini merupakan keadaan hati yang dihasilkan oleh pengenalan terhadap Allah. Keadaan ini akan membuahkan amal perbuatan, baik yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati. Menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada bahwa dalam keadaan apapun diawasi oleh Allah swt. Memandang bahwa Allah selalu dekat bersama kita dan mengetahui  apa yang dilakukan oleh hamba-Nya.
Muraqabah memiliki dua tingkatan. Pertama, muraqabah para shiddikin dan muqarrabin. Muraqabah ini dilakukan untuk mengagunggkan Allah dengan cara melatih hati senantiasa sadar bahwa Allah mengetahui segala gerak0gerik manusia. Orang yang telah mencapai tingkatan ini maka seakan telah melalaikan makhluq lainnya. Kedua, muraqabahnya orang-orang wara’. Mereka sadar bahwa Allah mengawasi kondisi secara lahir dan batin.
Menurut al-Ghazali, seorang yang muraqabah dapat melakukannya sebanyak dua kali ; (1) muraqabah dilakukan dengan mengamati seluruh gerak dan diamnya badan serta gerak hati dan (2) dilakukan dengan mengamati cara dalam melaksanakan amal untuk memenuhi hak Allah dan selalu menyempurnakan niatnya selama menyelesaikan amalnya.Muraqabah saat melakukan kebajikan difokuskan dengan bertanya pada diri sendiri ; Apakah kebajikan itu dilakukan dengan ikhlas dan menjaga kebaikan dari penyakit ? ’’Muraqabah terhadap maksiat dilakukan dengan bertaubat, menyesal, meninggalkan maksiat dan menyibukkan diri dengan sekolah mata. Instropeksi dalam menjalankan perkara-perkara mubah dilakukan dengan memenuhi adap dan etikanya, mengakui Allah sebagai Zat Maha pemberi nikmat.
  2. Al-Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut al-Ghozali, khauf adalah rasa sakit dalam hati karana akn khawatir  terjadi sesuatu yang tidak disenangi di masa mendatang.
Orang yang selalu merasa takut, maka timbullah sikap untuk selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki oleh Allah swt.Dan mendorong seseorang untuk melakukan hak-hal yang positif dan terpuji serta menjahui perbuatan tercela. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam dan sikap khauf selalu dibarengi dengan raja’.
Menurut al-Ghozali, khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, di antaranya yaitu ;
a.       Tingkatan qashir (pendek ), yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wnita. Perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengar ayat-ayat al-Qur’an dibacakan, atau seperti halnya takut karena menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dasyat. Tingkatan ini banyak dimiliki oleh banyak orang, kecuali para arif dan ‘ulama.
b.      Tingkatan mufrith (yang berlebihan ), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa. Khauf tingkatan ini terkadang menyebabkan sakit,hilangnya kendali akal, dan bahkan kematian. Khauf seperti ini sangat dicela, karena dapat membuat manusia tidak mampu beramal.
c.       Tingkatan mu’tadil ( sedang ), yaitu tingkatan khauf yang sangat terpuji. Ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
Adapun berdasarkan penyebabnya, khauf dibagi menjadi dua. Pertama, sesuatu yang ditakuti karena akibat yang ditimbulkan, seperti takut mati sebelum taubat, ketidakmampuan memenuhi hak-hak Allah. Kedua, sesuatu yang ditakuti karena zatnya, seperti takut pada mati dan beratnya menghadapi kematian.
3. Raja’
            Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan atau disenangi, sebagaimana al-Ghozali mendefinisikannya dengan suatu keadaan dimana hati terasa nyamankarena menanti sesuatu yang dicintai atau didambakan. Sikap ini mendorong seseorang untuk berbuat ketaatan dan mencegah kemungkaran. Raja’menurut ath-Thusi terdiri dari tiga perkara ; (1) mengharapkan Allah, (2) mengharapkan keluasan rahmat kasih sayang dan (3) mengharapkan pahala Allah. Seorang hamba yang memiliki pengharapan yang besar kepada Allah swt. Akan mengakibatkan timbulnya kerinduan yang mendalam pula kepada-Nya. Tanda seorang hamba yang memiliki harapan kepada Allah yaitu manakala seorang hamba menerima ni’mat atau anugerah, maka ia selalu bersyukur. Harapan mendatangkan pahala dan rahmat bagi hamba yang menginginkannya. Allah mendengar orang yang menyebut-nyebut dan mengharapkan rahmatnya. Allah mendengar orang yang mengetahui bahwa kedermawaan adalah salah satu sifat-Nya. Dengan keadaan seperti ini, hati orang itu akan merasa tenang karena adanya harapan dalam dirinya.
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkat thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketengan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berdzikir adalah terkabulnya do’a-do’a. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela,senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bias tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagunggan-Nya. Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan thuma’ninah yang artinya adalah sebagai berikut ;
Artinya ; ‘’ (yaitu ) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati memjadi tentram.’’
5. Al-uns
            Uns ( suka cita ) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-uns sebagai berikut ; ‘’ ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaanya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam peliharaan Allah.’’
            Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berdzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai.merasa senang disaat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagunggkan disertai dengan suka cita.
6. Musyahadah
            Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah ) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi sepertu itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui penyaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
            Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan tuhannya.dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak terbalik,tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian,yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.














DAFTAR PUSTAKA
Tualeka Hamzah DR, Akhlaq tasawuf, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,2011.
Sudjana Nana DR, dkk, Tasawuf kontekstual, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002
http://akhaq tasawuf.co.id/

1 komentar: