AHWAL SEBAGAI CAPAIAN-CAPAIAN
KUALITAS SPIRITUAL
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah AKHLAQ TASAWUF
Disusun
oleh :
AINIL
IZZAH (D32211039)
Dosen
Pembimbing
Drs. H. AAN NADJIB, M. Ag.
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
KATA
PENGANTAR
Segala puja dan puji kami haturkan ke hadirat Allah
swt., Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Sholawat serta salam salam semoga
senantiasa tercurah atas junjungan kita, Nabi Muhammad saw., yang telah
menyampaikan pesan pencerahan Allah secara sempurna kepada umat semesta alam
dan membina batin manusia dengan keteladanan yang tinggi sehingga tercipta umat
manusia yang berpribadi mulia.
Selanjutnya, makalah yang ada dihadapan pembaca ini
merupakan upaya kecil kami untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama islam, utamanya,
yang berkenaan dengan kepribadian dan kerohanian islam.
Dengan izin Allah swt. Dan berkat kerjasama yang
cantik dari semua pihak, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhirnya, kami harus menyadari bahwa ‘’ tiada gading
yang tak retak’’. Artinya saya adalah manusia biasa, memiliki keterbatasan di
sana-sini, sehingga harus saya kataka bahwa makalah ini hanyalah sebagai
pemenuhan tugas dengan merujuk ke buku-buku refrensi yang, paling tidak,
tertera dalam daftar makalah ini. Tentu saja, saran kritis-konstruksi dari
berbagai pihak sangat saya harapkan demi lebih sempurnanya makalah ini
Surabaya, 29 Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PEMBAHASAN
A.
Pengertian
ahwal
B.
Macam-macam
hal
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari
kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu ( keadaan rohani ). Menurut
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak
yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut
al-Ghozali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah
kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun
Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para
sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,yang pada intinya, hal adalah keadaan
rohani seorang hamba ketika hatinya telahbersih dan suci. Hal berlainan dengan
maqam, hal tidak menentu datangnya terkadang datang dan perginya berlangsung
cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yangdatang dan perginya dalam waktu
yang lama, yang disebut badawih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan
tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugrah dan rahmat dari
Tuhan. Maqam sifatnya permanen,sedangkan hal sifatnya temporer sesuai dengan
tingkatan maqamnya. Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga
terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi.
B.
Macam-macam hal
1-
Al-
muraqabah
Muraqabah adalah kesadaran diri bahwa kita selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan apa pun
dan Dialah yang selalu mengawasi segala apapun yang kita lakukan. Muraqabah ini
merupakan keadaan hati yang dihasilkan oleh pengenalan terhadap Allah. Keadaan
ini akan membuahkan amal perbuatan, baik yang dilakukan oleh anggota badan
maupun hati. Menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada bahwa dalam keadaan
apapun diawasi oleh Allah swt. Memandang bahwa Allah selalu dekat bersama kita
dan mengetahui apa yang dilakukan oleh
hamba-Nya.
Muraqabah memiliki dua tingkatan. Pertama,
muraqabah para shiddikin dan muqarrabin. Muraqabah ini dilakukan untuk
mengagunggkan Allah dengan cara melatih hati senantiasa sadar bahwa Allah
mengetahui segala gerak0gerik manusia. Orang yang telah mencapai tingkatan ini
maka seakan telah melalaikan makhluq lainnya. Kedua, muraqabahnya orang-orang
wara’. Mereka sadar bahwa Allah mengawasi kondisi secara lahir dan batin.
Menurut al-Ghazali, seorang yang muraqabah
dapat melakukannya sebanyak dua kali ; (1) muraqabah dilakukan dengan mengamati
seluruh gerak dan diamnya badan serta gerak hati dan (2) dilakukan dengan
mengamati cara dalam melaksanakan amal untuk memenuhi hak Allah dan selalu
menyempurnakan niatnya selama menyelesaikan amalnya.Muraqabah saat melakukan
kebajikan difokuskan dengan bertanya pada diri sendiri ; Apakah kebajikan itu
dilakukan dengan ikhlas dan menjaga kebaikan dari penyakit ? ’’Muraqabah
terhadap maksiat dilakukan dengan bertaubat, menyesal, meninggalkan maksiat dan
menyibukkan diri dengan sekolah mata. Instropeksi dalam menjalankan
perkara-perkara mubah dilakukan dengan memenuhi adap dan etikanya, mengakui
Allah sebagai Zat Maha pemberi nikmat.
2.
Al-Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa
takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir
kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut al-Ghozali, khauf adalah rasa sakit
dalam hati karana akn khawatir terjadi
sesuatu yang tidak disenangi di masa mendatang.
Orang yang selalu merasa takut, maka
timbullah sikap untuk selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari
yang dikehendaki oleh Allah swt.Dan mendorong seseorang untuk melakukan hak-hal
yang positif dan terpuji serta menjahui perbuatan tercela. Perasaan khauf
timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam dan sikap
khauf selalu dibarengi dengan raja’.
Menurut al-Ghozali, khauf terdiri dari tiga
tingkatan atau tiga derajat, di antaranya yaitu ;
a.
Tingkatan
qashir (pendek ), yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wnita.
Perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengar ayat-ayat al-Qur’an dibacakan,
atau seperti halnya takut karena menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dasyat.
Tingkatan ini banyak dimiliki oleh banyak orang, kecuali para arif dan ‘ulama.
b.
Tingkatan
mufrith (yang berlebihan ), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran
dan menyebabkan kelemahan dan putus asa. Khauf tingkatan ini terkadang
menyebabkan sakit,hilangnya kendali akal, dan bahkan kematian. Khauf seperti
ini sangat dicela, karena dapat membuat manusia tidak mampu beramal.
c.
Tingkatan
mu’tadil ( sedang ), yaitu tingkatan khauf yang sangat terpuji. Ia berada pada
khauf qashir dan mufrith.
Adapun berdasarkan penyebabnya, khauf
dibagi menjadi dua. Pertama, sesuatu yang ditakuti karena akibat yang
ditimbulkan, seperti takut mati sebelum taubat, ketidakmampuan memenuhi hak-hak
Allah. Kedua, sesuatu yang ditakuti karena zatnya, seperti takut pada mati dan
beratnya menghadapi kematian.
3. Raja’
Raja’
adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang
diinginkan atau disenangi, sebagaimana al-Ghozali mendefinisikannya dengan
suatu keadaan dimana hati terasa nyamankarena menanti sesuatu yang dicintai
atau didambakan. Sikap ini mendorong seseorang untuk berbuat ketaatan dan
mencegah kemungkaran. Raja’menurut ath-Thusi terdiri dari tiga perkara ; (1)
mengharapkan Allah, (2) mengharapkan keluasan rahmat kasih sayang dan (3) mengharapkan
pahala Allah. Seorang hamba yang memiliki pengharapan yang besar kepada Allah
swt. Akan mengakibatkan timbulnya kerinduan yang mendalam pula kepada-Nya.
Tanda seorang hamba yang memiliki harapan kepada Allah yaitu manakala seorang
hamba menerima ni’mat atau anugerah, maka ia selalu bersyukur. Harapan
mendatangkan pahala dan rahmat bagi hamba yang menginginkannya. Allah mendengar
orang yang menyebut-nyebut dan mengharapkan rahmatnya. Allah mendengar orang
yang mengetahui bahwa kedermawaan adalah salah satu sifat-Nya. Dengan keadaan
seperti ini, hati orang itu akan merasa tenang karena adanya harapan dalam
dirinya.
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada
rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran,
karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang
yang telah mencapai tingkat thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya
dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan,
bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah
dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketengan bagi kaum awam. Ketenangan ini
didapatkan ketika seorang hamba berdzikir, mereka merasa tenang karena buah
dari berdzikir adalah terkabulnya do’a-do’a. Kedua, ketenangan bagi orang-orang
khusus.Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela,senang atas
keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan
bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan
karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa
tentram kepada-Nya dan tidak bias tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan
keagunggan-Nya. Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan thuma’ninah yang artinya
adalah sebagai berikut ;
Artinya ; ‘’ (yaitu ) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati memjadi tentram.’’
5. Al-uns
Uns
( suka cita ) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa sepi. Dalam keadaan
seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang
diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat
kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada
dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan
seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan
al-uns sebagai berikut ; ‘’ ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta,
seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada orang yang merasa bising dalam
kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaanya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada
dalam peliharaan Allah.’’
Seorang
hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba
yang merasakan suka cita berdzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat
lalai.merasa senang disaat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua,
seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap
bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan
menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, kondisi yang tidak lagi
melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan
mengagunggkan disertai dengan suka cita.
6. Musyahadah
Musyahadah
secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology,
tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah )
atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah
mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah
telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang
terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap
tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi sepertu
itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan-akan
menyaksikan Allah dan melalui penyaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta
kasih.
Perpaduan
antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan
secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang
Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara
langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi al-yaqin berarti perpaduan antara
pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam
pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan
tuhannya.dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati,
tidak terbalik,tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian,yaqin adalah
kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang
dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Tualeka Hamzah DR, Akhlaq tasawuf, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press,2011.
Sudjana
Nana DR, dkk, Tasawuf kontekstual, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2002